KORSA Sumsel Prihatin, Penangkapan Munarman Dinilai Melewati Batas

Advokat yang tergabung dalam KORSA Sumsel saat menyampaikan prihatin atas penangkapan Munarman.(Ist)

WAW, Palembang – Kelompok Solidaritas Advokat (KORSA) Sumatera Selatan (Sumsel) menyampaikan prihatin terhadap peristiwa penangkapan Munarman oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri tanggal 27 April 2021, Kemarin.

Ketua Korsa Lintas Advokat Sumsel, Febuar Rahman menyayangkan peristiwa tersebut harus terjadi.

“Bahwa penangkapan Munarman oleh Densus 88, menurut kami sudah diluar batas-batas kewajaran dan kemanusiaan dengan kata lain tidak lagi menghormati norma-norma Hak Asasi Manusia. Sebagaimana yang tercantum dalam perangkat DUHAM juncto Covenant on Civil and Political Rights sebagaimana yang telah diratifikasi lewat UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2005 tentang PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK),” demikian tutur Febuar, Rabu (5/5).y

Ia juga menilai penetapan terhadap tersangka yang disertai dengan penangkapan dan penahanan tanpa pemeriksaan terhadap Munarman nyata-nyata tidak mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, yang menegaskan bahwa frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti sesuai dengan Pasal 184 KUHAP dengan disertai pemeriksaan terhadap calon tersangkanya.

Sekadar informasi, Munarman berprofesi sebagai Advokat yang pada saat penangkapannya sedang menjalankan profesinya sebagai kuasa hukum Muhammad Rizieq Shihab, Lc., M.A., DPMSS., Ph.D yang perkaranya masih dalam masa persidangan di Pengadilan Negeri Kelas IA Jakarta Timur.

Dalam hal ini, Febuar menduga penangkapan Munarman ada kaitannya dengan aktivitasnya melakukan pendampingan hukum (litigasi) terhadap Muhammad Rizieq Shihab, Lc., M.A., DPMSS., Ph.D. tersebut-seperti diketahui bahwa Advokat Munarman menolak keras proses persidangan Muhammad Rizieq Shihab, Lc., M.A., DPMSS., Ph.D dilakukan melalui daring hal ini sempat membuat aparat penegak hukum memaksa terdakwa untuk tetap menerima persidangan melalui daring.

Dan, menimbulkan kegaduhan-namun pada akhirnya majelis hakim merubah penetapan persidangan Muhammad Rizieq Shihab, Lc., M.A., DPMSS., Ph.D. menjadi persidangan offline atau luring dan sejak saat itu setiap persidangannya terdakwa dihadapkan di depan Majelis Hakim.

Indikasi lainnya adalah tuduhan-tuduhan dugaan tindak pidana yang dilakukan yang menjadi dasar penangkapannya terjadi pada kurun waktu tahun 2014-2015, pertanyaan sederhananya kenapa tidak langsung ditangkap pada tahun 2014-2015 tersebut?

Toh, Munarman dalam periode kurun waktu tahun 2014 sampai dengan ditangkap pada April 2021 berada di tempat tidak kemana-mana. Maka dari itu menurut kami tuduhan-tuduhan tersebut terkesan sangat dipaksakan dengan tujuan menghentikan aktifitas Munarman dalam rangka pembelaan terhadap kliennya Muhammad Rizieq Shihab, Lc., M.A., DPMSS., Ph.D., baik dimuka persidangan (litigasi) maupun diluar persidangan (non litigasi).

“Penangkapan terhadap Munarman haruslah dikaitkan dengan profesi Advokat yang disandangnya yang merupakan profesi yang terhormat (Officium nobile)-profesi yang dijamin kebebasan dan kemandiriannya dalam melaksanakan tugas dan kewajiban mendampingi klien dalam mencari keadilan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat,” tutur Febuar.

Dijelaskannya Pasal 16 Undang-Undang Advokat menyatakan; “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan”, yang kemudian ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 26/PUU-XI/2013; bahwa advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan-jangankan penangkapan, pemanggilan seorang Advokat untuk kepentingan pemeriksaan yang berkaitan dengan tugas menjalankan profesinya harus dilakukan melalui organisasi advokat dimana advokat tersebut bernaung.

“Proses penangkapan Munarman oleh Densus 88 yang rekamannya videonya beredar di media sosial, memperlihatkan tindakan sewenang-wenang dengan cara membawa paksa Munarman tanpa ada komunikasi yang manusiawi, menggeledah isi rumah, merampas gawai (telfon seluler), memborgol, tidak diizinkan untuk memakai alas kaki, menyeret ke dalam mobil, dan menutup matanya dengan kain hitam-aparat terkesan mem-framing Munarman seolah-olah adalah pelaku terorisme yang sangat berbahaya dan baru ditemukan keberadaannya.” Ungkapnya.

Padahal menurutnya,berdasarkan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2018 menyatakan bahwa; Pelaksanaan penangkapan orang yang diduga melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip Hak Asasi Manusia, jelas dan tegas.

“Oleh karenanya tindakan-tindakan arogansi sewenang-wenang oknum Densus 88 diluar kewajaran (bertentangan dengan logika umum dan peraturan perundang-undangan) tersebut akan menimbulkan preseden buruk dan ketakutan masyarakat, sehingga menampakkan wajah buruk penegakkan hukum di Republik yang kita cintai ini,” tegasnya.

Sementara itu,Ketua KORSA Advokat Palembang M Husni Chandra menambahkan, adapun pernyataan sikap KORSA Advokat Sumsel antara lain protes Keras terhadap Pemerintah Republik Indonesia yang dalam hal ini adalah tindakan aparat hukum Kepolisian Republik Indonesia Cq. Densus 88 atas tindakan penangkapan sewenang-wenang diluar batas-batas kewajaran dan kemanusiaan terhadap Munarwan.

Kemudian meminta Komisi III DPR RI untuk segera memanggil pihak-pihak terkait dalam penangkapan Munarman untuk dimintakan keterangan dan penjelasannya terkait dengan pelaksanaan tugas dan kewenangannya.

“Meminta Presiden Republik Indonesia untuk segera mengevaluasi dan memberi sanksi terhadap kinerja Kepala Kepolisian Republik Indonesia Cq. Densus 88, agar supaya ke depan tidak lagi melakukan tindakan-tindakan diluar hukum yang menyebabkan ketakutan di masyarakat dan bertentangan dengan nilai-nilai keadilan yang merupakan prinsip dasar dalam penegakan hukum di negara kita,” ungkap Husni Chandra.(ril/lq)